Kamis, 08 Oktober 2015

Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Biologi Udang Vannamei
2.1.1. Taksonomi Udang Vannamei
Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan udang yang digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), taksonomi udang vannamei secara lengkap adalah sebagai berikut:
Kingdom       :    Animalia
Subkingdom  :    Metazoa
Filum             :    Arthropoda
Subfilum        :    Crustacea
Kelas              :    Malacostraca
Subkelas        :    Eumalacostraca                        
Superordo      :    Eucarida
Ordo              :    Decapoda
Subordo         :    Dendrobrachiata
Famili             :    Penaeidae
Genus            :    Litopenaeus
Spesies           :    Litopenaeus vannamei
2.1.2.      Morfologi
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), menyatakan bahwa tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku–buku dan aktifitas berganti kulit luar atau exoskeleton secara periodik (moulting).



3
 


Bagian udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut:
Ø Makan, bergerak, dan membenamkan diri dalam lumpur (burrowing).
Ø Menopang insang karena struktur insang mirip bulu unggas.
Ø Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Morfologi udang vannamei dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Morfologi Udang Vannamei
Haliman dan Adijaya (2005)
2.1.3.      Tingkah Laku Makan
Menurut Rusmiyati (2013), udang vannamei semula digolongkan ke dalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan crustacea kecil, amphipoda dan polychaeta. Secara alami udang vannamei merupakan hewan nokturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam subtrat atau lumpur.


Berikut ini merupakan fase tingkah laku makan udang vannamei menurut Haliman dan Adijaya (2005):
Ø  Pendeteksian pakan dengan sinyal kimiawi.
Ø  Orientasi (pengenalan medan), saat udang akan bergerak menuju sumber pakan.
Ø  Bergerak mendekati sumber pakan.
Ø  Menjepit pakan dengan capit kaki jalan dan dimasukkan ke dalam mulut.
Ø  Udang akan berhenti makan bila sudah kenyang.
2.1.4.      Siklus Hidup
     Daur hidup udang vannamei meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau muara sungai. Sehingga pakan yang dibutuhkan saat fase ini adalah pakan yang berukuran kecil, sesuai dengan bukaan mulut larva, serta pakan yang dominan di daerah muara serta daerah permukaan adalah pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) karena perairan tersebut subur (Tjahjo, 2002). Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup (Rusmiyati, 2013).
2.1.5.      Perkembangan Larva
a.    Stadia Naupli
     Pada stadia ini, naupli berukuran 0,32–0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga pada stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar (Haliman dan Adijaya, 2005).
b.    Stadia Zoea
Stadia zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar    15–24 jam. Larva sudah berukuran 1,05–3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, 2, dan 3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4–5 hari. Pakan yang cocok untuk stadia zoea adalah fitoplankton berupa Chetoceros, Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii, Chaetoceros calcitrans (Haliman dan Adijaya, 2005).
c.     Stadia Mysis
Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran larva sudah berkisar 3,50–4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, 2, dan 3 yang berlangsung selama 3-4 hari sebelum masuk pada stadia post larva (PL). Larva pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Untuk jenis zooplankton dapat diberikan pakan berupa Artemia salina. Nauplius Artemia merupakan Zooplankton yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius Artemia banyak mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan oleh larva udang. Selain itu pada tahap ini juga dapat diberikan pakan buatan seperti flake dengan dosis 4 ppm untuk mencukupi nutrisi pada larva (Haliman dan Adijaya, 2005).
d.    Stadia Post Larva (PL)
     Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai aktif bergerak lurus ke depan. Sehingga larva dapat memakan jenis fitoplankton, zooplankton, dan pakan buatan berupa flake (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.2.Persyaratan Lokasi Pemeliharaan Larva
Menurut Harjono (2012), syarat lokasi untuk pembenihan dan pemeliharaan larva udang penaeid adalah sebagai berikut:
Ø  Lokasi dekat dengan laut.
Ø  Lokasi dekat dengan tambak pembesaran.
Ø  Lokasi datar dengan elevasi kurang dari 3-4 m.
Ø  Kualitas air baik dengan fluktuasi yang tidak terlalu tinggi serta lokasi jauh dari sumber limbah.
Ø  Tersedia sumber air tawar untuk sterilisasi bak dan penurunan salinitas.
Ø  Lokasi dekat dengan pasar.
Ø  Kemudahan mendapatkan sarana produksi seperti pakan dan obat-obatan, serta kemudahan dalam mendapatkan tenaga kerja.
2.3.Fasilitas
Menurut SNI (2009), menyatakan beberapa fasilitas yang secara prinsip diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang vannamei adalah sebagai berikut :
a.    Fasilitas Pokok
1.         Bak Filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral, pasir, arang, ijuk, dengan menggunakan waring sebagai pemisah komponen.
2.         Bak pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari semen maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
3.         Bak kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia pakan untuk larva yang berbentuk persegi empat  dengan volume 20% - 40% dari bak larva.
4.         Penetasan kista Artemia, yaitu untuk menetaskan telur Artemia sebagai makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan volume 0,02 m3.
5.         Tenaga listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah terkait.
6.         Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut dengan kapasitas pompa yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30% per hari dari total volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benur, dan pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5% dari total volume air bak atau sarana penyedia air yang kemampuannya setara dengan kapasitas di atas.
7.         Aerasi blower/hi blow, selang aerasi, batu aerasi.
b.    Failitas Penunjang
1.         Peralatan lapangan: seser, saringan pembuangan air, kantong saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember, timbangan, selang, saringan pakan, alat sipon peralatan panen.
2.         Peralatan laboratorium: pengukur kualitas air (termometer, refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
3.         Generator. Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.
2.4.Sumber Air Laut dan Air Tawar
Air laut merupakan kebutuhan yang mutlak harus ada dalam proses pemeliharaan larva udang vannamei. Menurut Subaidah, dkk (2006), secara visual sumber air laut harus jernih dan bersih sepanjang tahun. Daerah perairan pantai dengan dasar perairan pasir atau berkarang merupakan lokasi pengambilan air laut yang baik karena pada umumnya memiliki air yang jernih.
Menurut Murtidjo (2003), air tawar diperlukan untuk menurunkan salinitas atau membuat air payau dan mencuci bak serta peralatan. Air tawar yang bersih sangat penting sehingga diperlukan sumber air tawar yang cukup. Jika menggunakan air PAM, klorin harus diendapkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Treatment air perlu dilakukan untuk menghindari kontaminasi bibit penyakit. Menurut Subaidah, dkk (2006), pada pemeliharaan larva udang vannamei diperlukan treatment sumber air menggunakan filter mekanis yang berupa batu kali ukuran sedang, batu kali ukuran kecil (kerikil), arang kayu atau arang tempurung kelapa, ijuk dan pasir kuarsa serta dilapisi dengan waring atau screen sebagai pemisah antara komponen – komponen sand filter.
2.5.Persiapan Wadah dan Media
Bak pemeliharaan larva memiliki luas dasar 3 m2, tinggi 1,5 m dan volume 10 m3, berbentuk pesegi panjang bersudut tumpul atau bulat yang terbuat dari semen atau fiber plastik. Bak kemudian dicuci dengan menggunakan kaporit 60 % sebanyak 100 ppm yang dicampur dengan deterjen 5 ppm dan dilarutkan dengan air tawar pada wadah atau ember, kemudian dinding dan dasar bak digosok–gosok dengan menggunakan scouring pad dan dibilas dengan air tawar hingga bersih, kemudian dilakukan pengeringan selama dua hari. Pencucian dan pengeringan bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan mikroorganisme pembawa penyakit. (SNI, 2009).
Selanjutnya dilakukan pemasangan aerasi, dalam pemeliharaan larva udang vannamei (Littopenaeous vannamei) oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian besar organisme akuatik. Kandungan oksigen terlarut dalam lingkungan budidaya di bak secara terkontrol sangat berperan penting dan harus disuplai secara teratur ke dalam bak pemeliharaan. Oksigen terlarut dapat disuplai dengan menggunakan aerasi. Untuk itu selang, pemberat dan batu aerasi dijemur selama dua hari sebelum dilakukan pemasangan . Sebagai patokan jumlah aerasi yang diperlukan dalam tiap meter persegi berkisar antara 10 sampai 12 batu aerasi atau setiap panjang dan lebar 40 cm di tempatkan satu buah batu aerasi. Dalam proses pemasangannya di usahakan menggantung pada jarak 5 – 10 cm dari dasar bak sehingga oksigen dapat mencapai dasar (Wardiningsih ,1999).
Kemudian dilakukan pengisian air laut yang telah disterilisasi, sterilisasi air laut menggunakan clorin 100% (5 g/l sampai dengan 20 g/l) dan dinetralkan dengan aerasi kuat atau natrium tiosulfat maksimum 40 g/l (SNI, 2009).
2.6.Pemeliharaan Larva Udang Vannamei
2.6.1. Penebaran Naupli
Padat penebaran naupli adalah maksimum 100 ekor/liter. Nauplius yang ditebar berwarna coklat oranye, gerakan berenang aktif, periode bergerak lebih lama dari periode diam, kondisi tubuh lengkap, ukuran dan bentuk tubuh normal serta bebas pathogen, respon terhadap rangsangan dan bersifat fototaksis positif. Nauplius yang ditebar adalah naupli muda (N3-N4), hal ini bertujuan agar menekan gangguan proses metamorfosis sekecil mungkin dari stadia protozoea pertama, karena pada proses pemeliharaan larva udang putih vannamei sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah (SNI, 2009).
2.6.2. Manajemen Pakan
Menurut Djarijah (1995), pakan adalah makanan yang khusus dibuat atau diproduksi agar mudah dan tersedia untuk dimakan dan dicerna dalam proses pencernaan ikan/udang sehingga menghasilkan energi yang dapat dipergunakan untuk aktifitas hidup. Sedangkan kelebihan energi yang dihasilkan ini akan disimpan dalam bentuk daging, yaitu untuk pertumbuhan. Pakan dibedakan atas 2 yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami merupakan makanan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara langsung, sedangkan pakan buatan merupakan makanan ikan yang dibuat dari campuran bahan- bahan alami dan atau bahan olahan yang selanjutnya dilakukan proses pengolahan  serta dibuat dalam bentuk tertentu sehingga tercipta daya tarik  (merangsang) ikan/udang untuk memakanya dengan mudah.
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) serta pakan komersil (buatan). Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros dan Artemia salina. Selain pakan alami, juga diberikan pakan buatan, adapun pakan buatan yang biasa diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake (lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya, kandungan protein 40% dan lemak 10% (SNI, 2009).
2.6.3. Pengelolaan Kualitas Air
Air merupakan media hidup bagi larva udang dan organisme lainnya yang penting untuk diperhatikan. Kualitas air yang baik akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva udang vannamei secara optimal. Pengelolaan kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang vannamei dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, water exchange, dan penyiponan. Syarat kualitas air untuk larva dan waktu pengukuran menurut SNI (2009), dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut.
Tabel.2.1. Kualitas Air Pada Pemeliharaan Larva
No
Kriteria
Satuan
Ukuran
Waktu pengukuran
1
2
3
4
5
1
Suhu
ᵒC
29-32
2 kali sehari
2
Salinitas
29-34
Setiap hari
3
pH
-
7,5-8,5
Setiap hari
4
Oksigen terlarut, min
g/l
5
Maksimum 3 kali sehari
5
Nirit, maks.
g/l
0,1
Setiap hari
6
Bakteri pathogen (vibrio sp.), maks
Cfu/ml
103
Maksimum 3 hari sekali
                                                              Sumber: SNI (2009)
Selain pengukuran parameter kualitas air, juga dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila di permukaan air telah banyak gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali, ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan gas di dalam air (Subaidah dan Pramudjo, 2008).
2.6.4. Pengamatan Kondisi Tubuh Larva
Menurut NACA (2005), dalam pemeliharaan larva udang vannamei, pengamatan kondisi tubuh larva merupakan suatu komponen penting untuk memastikan bahwa potensi permasalahan dapat dikenali sejak awal dan solusi yang diambil untuk mengoreksi dasar penyebabnya sehingga dengan demikian dapat meningkatkan produktivitas.
a.         Makroskopik
Penilaian terhadap kondisi tubuh larva ini dilakukan secara visual mengenai aktivitas larva, sisa pakan, kotoran, dan badan udang. Pada umumnya penilaian ini dilakukan pada pagi hari sehingga jika ada permasalahan dapat diambil tindakan pada sore hari.
1.         Aktifitas renang larva: zoea berenang dengan cepat dan secara konsisten ke depan, misys berenang memutar kembali, PL berenang dengan cepat dan secara konsisten maju.
2.         Luminescenci: biasanya ada kaitannya dengan bakteri vibrio harveyi. Tindakan yang diambil adalah dengan aplikasi probiotik dan pergantian air.
3.         Isi usus: kelihatan garis gelap dari haepatopankreas, jika penuh maka ketersediaan pakan sudah cukup dan jika tidak penuh maka kekurangan pakan.
4.         Keseragaman: jika terjadi perbedaan menandai suatu masalah seperti penyakit atau kualitas air yang rendah.
b.         Mikroskopik
Penilaian terhadap kondisi tubuh larva dengan menggunakan mikroskop. Penilaian ini dilakukan pada 20 ekor benur pada tiap bak pemeliharaan sebagai sampel.  
1.         Kondisi haepatopankreas: menggunakan pembesaran 100 - 400 X, jika penuh maka sistem pencernaan aktif dan jika nampak kosong atau pucat maka kekurangan pakan.
2.         Necrosis: terdapat luka pada tubuh larva dengan indikasi karena kanibalisme (kekurangan pakan), infeksi bakteri.
3.         Kelainan bentuk: anggota tubuh yang tidak lengkap (patah), menandai kualitas air jelek, kualitas naupli yang rendah, infeksi bakteri.
4.         Bolitas: terdapat pada usus dan haepatopankreas yang disebabkan oleh bakteri. Pencegahan dengan aplikasi probiotik dan manajemen pakan yang baik.
2.6.5. Pengendalian Penyakit
BBAP Situbondo (2012), menjelaskan bahwa pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara mulai dari penerapan biosecurity menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang diencerkan lalu ditempatkan pada pintu masuk. Selain itu juga dilakukan sanitasi peralatan sebelum dan sesudah digunakan mengunakan formalin 100 ppm. Pada pemeliharaan larva juga dilakukan pengobatan yang sama seperti iodine dan EDTA setiap 3 hari sekali.
Dalam proses pemeliharaan larva, serangan penyakit merupakan kendala teknis utama. Timbulnya penyakit pada larva udang yang dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil, misalnya pada waktu musim penghujan dimana kondisi suhu dan salinitas labil serta sering berfluktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit. Udang vanname dianggap lebih tahan terhadap penyakit dari pada jenis udang lainnya. Meskipun pada kenyataannya sangat rentan terhadap penyakit viral seperti  White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), IHHNV, dan Limfoid Organ Vacuolization Virus (LOVV) (Briggs, 2004).
Menurut NACA (2005), pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara didesinfektan sebelum penebaran telur atau naupli pada bak pemeliharaan larva. Prosedur desinfektan naupli yaitu dengan mengumpulkan naupli pada seser 100 micron, kemudian dibilas dengan air laut selama 5 menit, selanjutnya dimasukkan kedalam larutan formalin 200 ppm selama 30 detik, memasukkan kedalam larutan yodium 50 ppm selama 1 menit, setelah itu barulah naupli dimasukkan dalam bak larva ( NACA, 2005).
2.7.Panen dan Pengepakan
Benur udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang dipanen berumur 10-15 hari dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan budidaya. Benur yang dipanen memiliki tubuh yang transparan, isi usus tidak terputus, gerakan berenang aktif, melawan arus dan kepala cenderung mengarah ke dasar, kondisi tubuh setelah mencapai PL10 organ tubuh sudah sempurna dan ekor mengembang, bebas virus, respon terhadap rangsangan sangat responsive, benur akan melentik dengan adanya kejutan (SNI, 2009).
Menurut Nurdjana (2008), beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam pemanenan benih adalah:
1.    Benih yang dipanen harus pada umur dan ukuran sesuai SNI.
2.    Panen dilakukan dengan hati – hati, cepat dan cermat.
3.    Peralatan panen yang digunakan harus bersih, steril dan sesuai dengan kebutuhan panen.
4.    Sebelum benih dipanen, harus dilakukan pengecekan mutu benih terlebih dahulu, antara lain melalui:
a.    Pemeriksaan visual.
b.    Pemeriksaan mikroskopis.
c.    Pengecekan infeksi organisme pathogen.
d.   Khusus udang dilakukan PCR untuk mendeteksi adanya virus.
e.    Khusus untuk komoditas ekspor, perlu dilakukan pengecekan residu antibiotik.
Berikut ini merupakan cara dalam proses pemanenan benur Menurut BBAP Situbondo (2012):
1.         Menurunkan volume air hingga 8 ton.
2.         Pipa saringan sirkulasi larva dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung dalam ember yang telah dimodifikasi, lalu diberi kain kasa kemudian larva yang telah banyak dipindahkan ke tempat lain dengan menggunakan serokan.
3.         Benur yang telah dipanen dipindahkan ke tempat pengemasan dengan diberi aerasi.
4.         Benih dikemas dengan kantong plastik dan diberi oksigen dengan perbandingan oksigen dan air 2:1.
5.         Kepadatan benih sesuai dengan jarak transportasi, biasanya untuk kantong volume air kepadatan 2.000–4.000 /liter.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar