|
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Biologi Udang
Vannamei
2.1.1. Taksonomi Udang Vannamei
Udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) merupakan udang
yang digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), taksonomi udang vannamei
secara lengkap adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas :
Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili :
Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.1.2.
Morfologi
Menurut
Haliman dan Adijaya (2005), menyatakan bahwa tubuh udang vannamei
dibentuk oleh dua cabang (biramous)
yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei
memiliki tubuh berbuku–buku dan aktifitas berganti kulit luar atau exoskeleton secara periodik (moulting).
3
|
Bagian udang vannamei
sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai
berikut:
Ø Makan, bergerak, dan membenamkan diri dalam lumpur (burrowing).
Ø Menopang insang karena struktur insang mirip bulu unggas.
Ø Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
Morfologi udang vannamei dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1.
Morfologi Udang Vannamei
Haliman dan Adijaya (2005)
2.1.3.
Tingkah Laku Makan
Menurut Rusmiyati (2013), udang
vannamei semula digolongkan ke dalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan
detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini
adalah karnivora yang memakan crustacea kecil, amphipoda dan polychaeta. Secara
alami udang vannamei merupakan hewan nokturnal yang aktif pada malam hari untuk
mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di
dalam subtrat atau lumpur.
Berikut ini merupakan fase tingkah laku
makan udang vannamei menurut
Haliman dan Adijaya (2005):
Ø
Pendeteksian pakan dengan sinyal kimiawi.
Ø
Orientasi (pengenalan medan), saat udang akan bergerak menuju
sumber pakan.
Ø
Bergerak mendekati sumber pakan.
Ø
Menjepit pakan dengan capit kaki jalan dan dimasukkan ke
dalam mulut.
Ø
Udang akan berhenti makan bila sudah kenyang.
2.1.4.
Siklus
Hidup
Daur hidup udang
vannamei meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada
setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam.
Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa arus,
kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau
muara sungai. Sehingga pakan yang dibutuhkan saat fase ini adalah pakan yang
berukuran kecil, sesuai dengan bukaan mulut larva, serta pakan yang dominan di
daerah muara serta daerah permukaan adalah pakan alami (fitoplankton dan
zooplankton) karena perairan tersebut subur (Tjahjo, 2002). Di kawasan pantai,
larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya
kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih
tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk
membentuk siklus hidup (Rusmiyati, 2013).
2.1.5.
Perkembangan Larva
a.
Stadia Naupli
Pada stadia ini, naupli berukuran 0,32–0,58 mm. Sistem pencernaannya belum
sempurna dan masih memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga pada
stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar (Haliman dan Adijaya, 2005).
b. Stadia
Zoea
Stadia zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan
sekitar 15–24 jam. Larva sudah
berukuran 1,05–3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak
3 kali, yaitu stadia zoea 1, 2,
dan 3. Lama
waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis)
sekitar 4–5 hari. Pakan yang
cocok untuk stadia zoea adalah fitoplankton berupa Chetoceros, Skeletonema costatum, Tetraselmis chuii,
Chaetoceros calcitrans (Haliman dan Adijaya, 2005).
c. Stadia
Mysis
Pada stadia ini,
benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor
kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran
larva sudah berkisar 3,50–4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, 2, dan 3 yang
berlangsung selama 3-4 hari sebelum masuk pada stadia post larva (PL). Larva pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton
dan zooplankton. Untuk
jenis zooplankton dapat diberikan pakan berupa Artemia salina. Nauplius Artemia merupakan Zooplankton
yang banyak diberikan pada larva udang. Hal ini dikarenakan nauplius Artemia banyak mengandung nilai nutrisi
yang dibutuhkan oleh larva udang. Selain itu pada tahap ini juga dapat diberikan pakan buatan seperti flake
dengan dosis 4 ppm untuk mencukupi nutrisi pada larva (Haliman dan Adijaya, 2005).
d. Stadia
Post Larva (PL)
Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak
seperti udang dewasa. Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari.
Misalnya, PL 1 berarti post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai
aktif bergerak lurus ke depan. Sehingga
larva dapat memakan jenis fitoplankton, zooplankton, dan pakan buatan berupa
flake (Haliman dan Adijaya, 2005).
2.2.Persyaratan
Lokasi Pemeliharaan Larva
Menurut Harjono (2012), syarat lokasi untuk pembenihan
dan pemeliharaan larva udang penaeid adalah sebagai berikut:
Ø
Lokasi
dekat dengan laut.
Ø
Lokasi
dekat dengan tambak pembesaran.
Ø
Lokasi
datar dengan elevasi kurang dari 3-4 m.
Ø
Kualitas
air baik dengan fluktuasi yang tidak terlalu tinggi serta lokasi jauh dari
sumber limbah.
Ø
Tersedia
sumber air tawar untuk sterilisasi bak dan penurunan salinitas.
Ø
Lokasi
dekat dengan pasar.
Ø
Kemudahan
mendapatkan sarana produksi seperti pakan dan obat-obatan, serta kemudahan
dalam mendapatkan tenaga kerja.
2.3.Fasilitas
Menurut SNI (2009), menyatakan beberapa fasilitas yang
secara prinsip diperlukan untuk usaha pemeliharaan larva udang vannamei
adalah sebagai berikut :
a. Fasilitas
Pokok
1.
Bak
Filter, yaitu bak penyaring air dengan komponen penyaring berupa koral, pasir,
arang, ijuk, dengan menggunakan waring sebagai pemisah komponen.
2.
Bak
pemeliharaan larva, yaitu bak tempat pemeliharaan larva yang terbuat dari semen
maupun fiber plastik dengan volume minimal 10 m3.
3.
Bak
kultur fitoplankton, yaitu tempat kultur fitoplankton sebagai penyedia pakan
untuk larva yang berbentuk persegi empat
dengan volume 20% - 40% dari bak larva.
4.
Penetasan
kista Artemia,
yaitu untuk menetaskan telur Artemia
sebagai makanan larva udang yang berbahan fiber glass maupun plastik dengan
volume 0,02 m3.
5.
Tenaga
listrik, dapat disuplai dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) di daerah terkait.
6.
Pompa air atau sarana penyedia air: pompa air laut
dengan kapasitas pompa yang dapat memompa air laut dengan volume minimal 30%
per hari dari total volume air yang dibutuhkan dalam bak pemeliharaan benur,
dan pompa air tawar dengan kapasitas minimal 5% dari total volume air bak atau
sarana penyedia air yang kemampuannya setara dengan kapasitas di atas.
7.
Aerasi blower/hi blow, selang aerasi, batu
aerasi.
b. Failitas Penunjang
1.
Peralatan lapangan: seser, saringan pembuangan air,
kantong saringan air, gelas piala, sepatu lapangan, senter, gayung, ember,
timbangan, selang, saringan pakan, alat sipon peralatan panen.
2.
Peralatan laboratorium: pengukur kualitas air
(termometer, refraktometer, pH meter atau kertas pH) dan mikroskop.
3.
Generator.
Peralatan ini sangat dibutuhkan, meskipun unit pembenihan tersebut
mempergunakan sumber listrik PLN, khususnya jika terjadi gangguan listrik PLN.
2.4.Sumber
Air Laut dan Air
Tawar
Air laut
merupakan kebutuhan yang mutlak harus ada dalam proses pemeliharaan larva udang
vannamei. Menurut Subaidah, dkk (2006),
secara visual sumber air laut harus jernih dan bersih sepanjang tahun. Daerah
perairan pantai dengan dasar perairan pasir atau berkarang merupakan lokasi
pengambilan air laut yang baik karena pada umumnya memiliki air yang jernih.
Menurut
Murtidjo (2003), air tawar diperlukan untuk menurunkan salinitas atau membuat
air payau dan mencuci bak serta peralatan. Air tawar yang bersih sangat penting
sehingga diperlukan sumber air tawar yang cukup. Jika menggunakan air PAM,
klorin harus diendapkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Treatment air perlu dilakukan untuk menghindari kontaminasi bibit penyakit.
Menurut Subaidah, dkk (2006), pada
pemeliharaan larva udang vannamei diperlukan treatment sumber air menggunakan
filter mekanis yang berupa batu kali ukuran sedang, batu kali ukuran kecil
(kerikil), arang kayu atau arang tempurung kelapa, ijuk dan pasir kuarsa serta
dilapisi dengan waring atau screen sebagai pemisah antara komponen – komponen sand filter.
2.5.Persiapan
Wadah dan Media
Bak pemeliharaan larva memiliki luas dasar 3 m2,
tinggi 1,5 m dan volume 10 m3, berbentuk pesegi panjang
bersudut tumpul atau bulat yang terbuat dari semen atau fiber plastik. Bak
kemudian dicuci dengan menggunakan
kaporit 60 % sebanyak 100 ppm yang dicampur dengan deterjen 5 ppm dan
dilarutkan dengan air tawar pada wadah atau ember, kemudian dinding dan dasar
bak digosok–gosok dengan menggunakan scouring pad dan dibilas dengan air tawar hingga bersih, kemudian
dilakukan pengeringan selama dua hari. Pencucian dan pengeringan bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan
mikroorganisme pembawa penyakit. (SNI, 2009).
Selanjutnya dilakukan pemasangan
aerasi, dalam pemeliharaan larva udang vannamei (Littopenaeous vannamei) oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi
sebagian besar organisme akuatik. Kandungan oksigen terlarut dalam lingkungan
budidaya di bak secara terkontrol sangat berperan penting dan harus disuplai
secara teratur ke dalam bak pemeliharaan. Oksigen terlarut dapat disuplai
dengan menggunakan aerasi. Untuk itu selang, pemberat dan batu aerasi dijemur selama dua hari
sebelum dilakukan pemasangan .
Sebagai patokan jumlah aerasi
yang diperlukan dalam tiap meter persegi berkisar antara 10 sampai 12 batu
aerasi atau setiap panjang dan lebar 40 cm di tempatkan satu buah batu aerasi.
Dalam proses pemasangannya di usahakan menggantung pada jarak 5 – 10 cm dari
dasar bak sehingga oksigen dapat mencapai dasar (Wardiningsih
,1999).
Kemudian dilakukan pengisian air laut yang telah
disterilisasi, sterilisasi air laut menggunakan clorin 100% (5 g/l sampai
dengan 20 g/l) dan dinetralkan dengan aerasi kuat atau natrium tiosulfat
maksimum 40 g/l (SNI, 2009).
2.6.Pemeliharaan
Larva Udang Vannamei
2.6.1. Penebaran Naupli
Padat penebaran naupli adalah maksimum 100 ekor/liter. Nauplius yang ditebar berwarna coklat oranye, gerakan
berenang aktif, periode bergerak lebih lama dari periode diam, kondisi tubuh
lengkap, ukuran dan bentuk tubuh normal serta bebas pathogen, respon terhadap
rangsangan dan bersifat fototaksis positif. Nauplius yang ditebar adalah naupli muda (N3-N4), hal ini
bertujuan agar menekan gangguan proses metamorfosis sekecil mungkin dari stadia
protozoea pertama, karena pada proses
pemeliharaan larva udang putih vannamei sering dikenal
dengan istilah zoea syndrome atau zoea
lemah (SNI, 2009).
2.6.2.
Manajemen Pakan
Menurut Djarijah (1995), pakan adalah
makanan yang khusus dibuat atau diproduksi agar mudah dan tersedia untuk
dimakan dan dicerna dalam proses pencernaan ikan/udang sehingga menghasilkan
energi yang dapat dipergunakan untuk aktifitas hidup. Sedangkan kelebihan
energi yang dihasilkan ini akan disimpan dalam bentuk daging, yaitu untuk
pertumbuhan. Pakan dibedakan atas 2 yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan
alami merupakan makanan yang tumbuh di alam tanpa campur tangan manusia secara
langsung, sedangkan pakan buatan merupakan makanan ikan yang dibuat dari
campuran bahan- bahan alami dan atau bahan olahan yang selanjutnya dilakukan
proses pengolahan serta dibuat dalam
bentuk tertentu sehingga tercipta daya tarik
(merangsang) ikan/udang untuk memakanya dengan mudah.
Jenis
pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan ada
dua jenis yaitu pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) serta pakan komersil
(buatan). Pemberian pakan alami berupa Chaetoceros
dan Artemia salina. Selain pakan alami, juga diberikan pakan buatan,
adapun pakan buatan yang biasa
diberikan untuk larva udang vannamei adalah pakan dalam bentuk bubuk, cair dan flake
(lempeng tipis) dengan ukuran partikel sesuai dengan stadianya, kandungan protein 40% dan lemak 10% (SNI, 2009).
2.6.3. Pengelolaan Kualitas Air
Air merupakan media hidup bagi larva
udang dan organisme lainnya yang
penting untuk diperhatikan. Kualitas air yang baik akan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan larva udang vannamei
secara optimal. Pengelolaan kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang
vannamei dilakukan dengan beberapa cara, yaitu monitoring,
pengecekan kualitas air, water exchange, dan
penyiponan. Syarat kualitas air untuk larva dan waktu
pengukuran menurut SNI (2009), dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut.
Tabel.2.1. Kualitas
Air
Pada
Pemeliharaan
Larva
No
|
Kriteria
|
Satuan
|
Ukuran
|
Waktu
pengukuran
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
Suhu
|
ᵒC
|
29-32
|
2 kali sehari
|
2
|
Salinitas
|
‰
|
29-34
|
Setiap hari
|
3
|
pH
|
-
|
7,5-8,5
|
Setiap hari
|
4
|
Oksigen terlarut, min
|
g/l
|
5
|
Maksimum 3 kali sehari
|
5
|
Nirit, maks.
|
g/l
|
0,1
|
Setiap hari
|
6
|
Bakteri pathogen (vibrio sp.), maks
|
Cfu/ml
|
103
|
Maksimum 3 hari sekali
|
Sumber: SNI (2009)
Selain
pengukuran parameter kualitas air, juga dilakukan pergantian dan penambahan air
secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila di permukaan air
telah banyak gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat
pecah kembali, ini diasumsikan air pada kondisi jenuh
dan telah terjadi banyak perombakan gas di dalam air (Subaidah dan Pramudjo,
2008).
2.6.4. Pengamatan Kondisi
Tubuh Larva
Menurut NACA (2005), dalam pemeliharaan larva udang vannamei,
pengamatan kondisi tubuh larva merupakan suatu komponen penting untuk
memastikan bahwa potensi permasalahan dapat dikenali sejak awal dan solusi yang
diambil untuk mengoreksi dasar penyebabnya sehingga dengan demikian dapat
meningkatkan produktivitas.
a.
Makroskopik
Penilaian terhadap kondisi tubuh larva ini dilakukan secara
visual mengenai aktivitas larva, sisa pakan, kotoran, dan badan udang. Pada
umumnya penilaian ini dilakukan pada pagi hari sehingga jika ada permasalahan
dapat diambil tindakan pada sore hari.
1.
Aktifitas renang larva:
zoea berenang dengan cepat dan secara konsisten ke depan, misys berenang memutar
kembali, PL berenang dengan cepat dan secara konsisten maju.
2.
Luminescenci: biasanya
ada kaitannya dengan bakteri vibrio
harveyi. Tindakan yang diambil adalah dengan aplikasi probiotik dan
pergantian air.
3.
Isi usus: kelihatan
garis gelap dari haepatopankreas, jika
penuh maka ketersediaan pakan sudah cukup dan jika tidak penuh maka kekurangan
pakan.
4.
Keseragaman: jika
terjadi perbedaan menandai suatu masalah seperti penyakit atau kualitas air
yang rendah.
b.
Mikroskopik
Penilaian terhadap kondisi tubuh larva dengan menggunakan
mikroskop. Penilaian ini dilakukan pada 20 ekor benur pada tiap bak
pemeliharaan sebagai sampel.
1.
Kondisi haepatopankreas: menggunakan pembesaran
100 - 400 X, jika penuh maka sistem pencernaan aktif dan jika nampak kosong atau
pucat maka kekurangan pakan.
2.
Necrosis: terdapat luka
pada tubuh larva dengan indikasi karena kanibalisme (kekurangan pakan), infeksi
bakteri.
3.
Kelainan bentuk:
anggota tubuh yang tidak lengkap (patah), menandai kualitas air jelek, kualitas
naupli yang rendah, infeksi bakteri.
4.
Bolitas: terdapat pada
usus dan haepatopankreas yang
disebabkan oleh bakteri. Pencegahan dengan aplikasi probiotik dan manajemen
pakan yang baik.
2.6.5. Pengendalian Penyakit
BBAP Situbondo (2012), menjelaskan bahwa pengendalian
penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan
dan pengobatan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara mulai dari penerapan biosecurity menggunakan PK (Kalium
Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang diencerkan lalu ditempatkan pada pintu
masuk. Selain itu juga dilakukan sanitasi peralatan sebelum dan sesudah
digunakan mengunakan formalin 100 ppm. Pada pemeliharaan larva juga dilakukan
pengobatan yang sama seperti iodine dan EDTA setiap 3 hari sekali.
Dalam proses pemeliharaan larva, serangan penyakit
merupakan kendala teknis utama. Timbulnya penyakit pada larva udang yang
dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil,
misalnya pada waktu musim penghujan dimana kondisi suhu dan salinitas labil
serta sering berfluktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah
terserang penyakit. Udang vanname dianggap lebih tahan terhadap penyakit dari pada
jenis udang lainnya. Meskipun pada kenyataannya sangat rentan terhadap penyakit
viral seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), IHHNV, dan Limfoid Organ Vacuolization Virus (LOVV) (Briggs, 2004).
Menurut NACA (2005), pencegahan
penyakit dapat dilakukan dengan cara didesinfektan sebelum penebaran telur atau
naupli pada bak pemeliharaan larva. Prosedur desinfektan naupli yaitu dengan
mengumpulkan naupli pada seser 100 micron, kemudian dibilas dengan air laut
selama 5 menit, selanjutnya dimasukkan kedalam larutan formalin 200 ppm selama
30 detik, memasukkan kedalam larutan yodium 50 ppm selama 1 menit, setelah itu
barulah naupli dimasukkan dalam bak larva ( NACA, 2005).
2.7.Panen dan
Pengepakan
Benur
udang vannamei (Litopenaeus vannamei) yang dipanen berumur 10-15 hari dan mampu beradaptasi
terhadap lingkungan budidaya. Benur yang dipanen memiliki tubuh yang
transparan, isi usus tidak terputus, gerakan berenang aktif, melawan arus dan
kepala cenderung mengarah ke dasar, kondisi tubuh setelah mencapai PL10 organ tubuh sudah sempurna dan ekor mengembang, bebas
virus, respon terhadap rangsangan sangat responsive, benur akan melentik dengan
adanya kejutan (SNI, 2009).
Menurut Nurdjana (2008), beberapa hal penting yang harus
dilakukan dalam pemanenan benih adalah:
1.
Benih
yang dipanen harus pada umur dan ukuran sesuai SNI.
2.
Panen
dilakukan dengan hati – hati, cepat dan cermat.
3.
Peralatan
panen yang digunakan harus bersih, steril dan sesuai dengan kebutuhan panen.
4.
Sebelum
benih dipanen, harus dilakukan pengecekan mutu benih terlebih dahulu, antara
lain melalui:
a.
Pemeriksaan
visual.
b.
Pemeriksaan
mikroskopis.
c.
Pengecekan
infeksi organisme pathogen.
d.
Khusus
udang dilakukan PCR untuk mendeteksi adanya virus.
e.
Khusus
untuk komoditas ekspor, perlu dilakukan pengecekan residu antibiotik.
Berikut ini merupakan cara dalam proses pemanenan benur
Menurut BBAP Situbondo (2012):
1.
Menurunkan volume air
hingga 8 ton.
2.
Pipa saringan sirkulasi
larva dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung dalam ember yang telah dimodifikasi,
lalu diberi kain kasa kemudian larva yang telah banyak dipindahkan ke tempat
lain dengan menggunakan serokan.
3.
Benur yang telah
dipanen dipindahkan ke tempat pengemasan dengan diberi aerasi.
4.
Benih dikemas dengan
kantong plastik dan diberi oksigen dengan perbandingan oksigen dan air 2:1.
5.
Kepadatan benih sesuai
dengan jarak transportasi, biasanya untuk kantong volume air kepadatan
2.000–4.000
/liter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar